Malam Amal Bersama Cak Nun & Kyai Kanjeng
Di Masjid Afandi Darrussalam
Mangiran - Pare - Kediri
[Urip Mung Mampir Ngombe]
Ungkapan urip mung mampir ngombe, mestinya sanggup “menyatukan” kita dengan Allah. Yang ada hanyalah Allah dan kita milik Allah, sehingga hutan, lautan, gunung, harta kekayaan negara, rekening kita, kekuasaan, dst adalah milik Allah. Kalau ini disadari pasti tidak akan disalahgunakan. Ini bukan berarti ajaran puasa adalah “anti-dunia”. Yang benar salah satu inti ajaran puasa adalah bagaimana kita mampu “memanajemen” dunia.
Jika apa yang ada di dalam rumah kita atau yang melekat di tubuh kita, barang-barang mana saja yang kita beli tidak berdasarkan kebutuhan riil, maka itu hanya berdasarkan nafsu atau kesenangan belaka. Kalau banyak yang berdasarkan nafsu atau kesenangan, apalagi cara membelinya dibarengi dengan korupsi dan penindasan, maka kita belum mampu memanajemen hati dan ruhani, demikian kata Cak Nun.
Ajaran urip mung mampir ngombe adalah ketika dunia ada “di hadapannya” kita tidak serta merta “mengenyamnya”. Kalau ajaran ini berhasil diserap umat manusia, maka ia akan menuju posisi pembebasan dari sisi-sisi keduniawian dan dilepaskan di hadapan Allah. Ini adalah proses “dematerialisasi” atau “deindividualisasi”, karena yang penting adalah Allah. Dunia dan isinya hanyalah “sarana” atau “metoda” dan dimanajemen sepenuhnya untuk menuju Allah. Dengan kata lain, produk-produk duniawi tetap penting bahkan dianjurkan untuk dicari mati-matian secara halal dan toyib, namun “harus dimanajemen” untuk menuju Allah SWT! Dengan kata lain, manusia yang berhasil mengamalkan ajaran urip mung mampir ngombe adalah manusia tidak anti materi atau duniawi, namun mentransformasikan apa yang ia miliki (harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga, pikiran, dst) untuk menjadi “nur” atau cahaya yang bermakna akherat.
Orang beragama kata Freud bapak psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the feeling of powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai kedewasaan beragama karena gagal membangun otionomi dalam dirinya sebagai manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus dikembangkan. Mampukah para pemimpin kita dan para politisi mencapai derajad ini?
Kembali ke urip mung mampir ngombe, Rasululloh lantas menjelaskan bahwa dalam Islam kerja keras untuk mencari rezeki merupakan hal yang sangat penting. Ibadah mahdoh, mengingat kepada Allah juga sangat penting, namun tidak ada yang harus dikalahkan. Ajaran Al Qur’an, 96,5 % berupa ajaran muamallah, dan hanya 3,5 % yang berupa ibadah mahdoh atau ibadah khusus kepada Allah. Urip mung mampir ngombe juga tidak harus diterjemahkan hanya menyerahkan dan ingat kepada Allah SWT saja, namun tetap mencari dunia, karenanya Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, dan orang yang paling beruntung di hadapan Allah SWT adalah mereka yang dapat mengembangkan “kesalehan pribadi” menjadi “kesalehan sosial” dan “kesalehan profesional”.
Dalam bahasa yang sederhana, kesalehan sosial merupakan tangga yang lebih tinggi karena yang diukur mutu seseorang adalah seberapajauh dan seberapabesar seseorang bermanfaat bagi orang lain. Kesalehan individual tidak sertamerta membawa kepada kesalehan sosial, misalnya orang yang kelihatan khusuk ibadahnya, lantas tidak otomatis tumbuh kepekaan sosialnya. Banyak contoh orang yang tekun beribadah formal, namun sangat pelit kalau mengurusi—misalnya—tetangganya yang kelaparan. Dia dapat begitu royal menyumbang tempat ibadah, namun pelit menyumbang tetangganya yang kesusahan, atau membangun jalan umum misalnya. Dia mengira amal ibadah hanya soal menyumbang tempat ibadah atau zakat saja.
Banyak kiai atau ulama yang begitu hebat pengetahuan fiqh-nya, namun jarang memberikan fatwa sosial. Yang muncul hanya fatwa tentang halal-haram, tentang lemak babi, pelacuran, judi, namun tidak mampu memberi solusi—misalnya — soal kasus lumpur Lapindo atau korupsi di DPR.
Ada satu cerita tentang sebuah kesalehan sosial. Ketika berjalan-jalan keluar istana—Khalifah Harun Al Rasyid yang menyamar sebagai orang biasa, menjumpai seorang tua bungkuk dan sudah beruban rambutnya, sedang menanam pohon palem. Ketika ditanya berapa lama pohon itu dapat tumbuh, orang tua yang bungkuk tadi menjawab kalem: “mungkin sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan seratus tahun!”. Mendengar jawaban ini sang Khalifah kaget: “Bagaimana anda dapat menikmati buahnya ketika pohon ini mulai tumbuh besar sedangkan engkau sudah meninggal ?”.
Namun orang tua ini tetap kalem dan menjawab : “Benar, mungkin saya sudah meninggal, tapi saya akan makan buah dari kesabaran yang saya tanam. Demikian pula anak cucu atau masyarakat di masa mendatang akan ikut menikmatinya pula. Diriku tidak penting, apakah masih hidup atau tidak, sebab hidup adalah sebuah langkah untuk beribadah”. Demi mendengar jawaban ini sang Khalifah kagum dan sertamerta memberinya orang tua itu sekeping uang emas. Orang tua tadi langsung berkata: “Saya berterima kasih kepada Allah, karena buah yang baru saya tanam menghasilkan buah dengan segera!”. Demi mendengar pujian ini sang Khalifah memberinya lagi.
Orang tua tadi juga menjawab: “Biasanya pohon ini berbuah sekali dalam setahun, namun ini berbuah dua kali”. Mendengar ucapan syukur ini sang Khalifah mendekati pengawalnya serta menarik tangannya sambil berkata: “Mari segera meninggalkan kebun ini sebelum uang kita habis.
Kisah ini menunjukkan kesalehan sosial seseorang yang tidak disertai pamrih, karena baginya “hidup adalah beramal”. Orang tua ini berbeda dengan politisi yang setiap hari menghabiskan uang puluhan milyar hanya untuk berkata “hidup adalah perbuatan”. Kalau politisi ini berpamrih, maka bagi orang tua tadi, bekerja bukan mencari uang, namun mencari keridlaan Alloh. Sedangkan uang hanyalah “resiko” yang dia terima setelah bekerja. Jadi “rumusnya” tidak bisa dibalik.
Muhammad Ainun Nadjib
~Pare De Java~
Blog Archive
-
▼
2011
(24)
-
▼
November
(16)
- Tokoh Pewayangan
- [GILA] Kebobrokan PNS (Yang Mau Jadi PNS, Masuk Lho)
- Cara Memahami Perasaan Orang Lain
- [BAHAYA] Meniup Makanan / Minuman Yang Masih Panas
- Mikul Dhuwur Mendhem Jero
- [Muhammad Ainun Najib] Malam Amal Bersama Cak Nun ...
- Sekilas Tentang Pare
- Hello Darkness !!!
- Mlaku - mlaku Kutho Pare Part I
- Sign Part II
- Sign Part I
- Pare Dalam SemiOtika
- Good Morning Pare
- Ternyata Pare Juga Bisa Banjir
- Perpustakaan "MASTRIP" - Gudang Ilmu Yang Semakin ...
- Donate For Pare De Java
-
▼
November
(16)
ok... aku juga ikut nonton... keren banget sob....
lanjutin ok